Senin, 08 Februari 2010

Roh yang shalat

Ketika seorang pedzikir telah mencapai tingkat kesambungan yang intens dengan Allah, maka datanglah bimbingan-bimbingan yang menuntun kehidupannya, tingkah lakunya, bahkan sampai pada hal-hal yang menurut umumnya orang dianggap hal yang kecil dan sepele.

Roh yang shalat

Roh [arruh, bukan roh gentayangan yang biasa diisukan dalam pandangan umum] merupakan duta ilahi yang diberi tugas untuk membimbing manusia ke jalan yang lurus, jalan yang diridhoi Allah. Roh mampu untuk membimbing manusia ketika si manusia itu sendiri dalam keadaan sedang berdzikir nyambung pada Allah. Sementara untuk manusia yang lalai, maka roh tidak berdaya. Malah yang berkuasa adalah setan.
Ketika seorang yang shalat dengan hati yang nyambung pada Allah, maka bimbingan Allah melalui roh pun datang. Sangat terasa setiap gerakan shalat mulai dari takbir hingga salam ada kekuatan besar yang menuntun dan membimbing untuk berdiri, membimbing untuk membaca fatehah, menuntun untuk ruku', mendorong untuk iktidal, mendorong untuk sujud, dan seterusnya. Kita hanya menyerah saja. Menyerah total kepada Allah. Biar difatehahkan, dirukukkan, diiktidalkan, disujudkan, didudukkan, ditahiyyatkan, dan disalamkan. Pekerjaan-pekerjaan yang merupakan rukun maupun syarat sah shalat terjadi secara otomatis dan mengalir begitu saja. Kita hanya mengamati, melihat, menyaksikan Allah yang sibuk mengurusi tubuh fisik maupun batin kita, menuntunnya dalam shalat, membimbingnya dalam setiap gerakan, memberikannya rasa khusyuk.

Menjadi obyek Allah

Secara tauhid, sebenarnya kita memang senantiasa menjadi obyeknya Allah. Dan sudah waktunya kita mengetahui secara dzauq [perasaan hati] akan kebenaran ajaran alquran ini. Terutama di dalam shalat, kita bisa merasakan kebenaran dari firman Allah. Maka hendaknya kita belajar untuk shalat dengan thumakninah agak lama. Berikan kesempatan pada Allah untuk menurunkan bimbingannya. Hingga pada akhirnya kita sampai pada tahap merasakan bahwa kita benar-benar hanya menjadi obyeknya Allah. Agar tingkat keimanan kita menjadi bertambah. Dari percaya [percaya akan kebenaran ajaran-ajaran alquran] secara ilmu ['ilmulyaqin] menjadi meningkat tingkat kepercayaannya kepada jenjang yang lebih tinggi berupa percaya karena merasakan sendiri/pengalaman pribadi/dzauq/'ainulyaqin..


Tidak ada komentar:

Posting Komentar